
Sampai berakhirnya masa pendaftaran pasangan calon kepala daerah 29 Agustus, terdapat 43 daerah yang bercalon tunggal dari 545 daerah (7,89%). Dari jumlah tersebut satu daerah untuk jabatan gubernur yaitu Provinsi Papua Barat. Selebihnya tersebar untuk jabatan bupati dan walikota.
Jika dilihat secara akumulasi pelaksanaan pilkada serentak sejak 2017-2020, di mana jumlah daerah yang melaksanakan pilkada sama banyaknya dengan pelaksanaan pilkada tahun ini, jumlah calon tunggal sebanyak 50 (9,17%). Ini artinya jika dibandingkan dengan pilkada 2024 terjadi penurunan sebesar 1,28% jumlah daerah bercalon tunggal.
Penurunan ini tentu harus dinilai sebagai sebuah hal positif dan menggembirakan. Semakin sedikit daerah yang bercalon tunggal, semakin baik bagi masyarakat dan sehat bagi demokrasi. Karena hak konstitusional warga untuk mendapatkan banyak alternatif calon pemimpin mereka terpenuhi. Sebab bagaimanapun, masyarakat daerah itulah yang akan merasakan dampak dari hasil pemilihan setidaknya untuk masa lima tahun.
Apakah penurunan tersebut dipengaruhi oleh keluarnya putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 yang mengubah syarat pencalonan oleh parpol atau gabungan parpol dari kursi ke perolehan suara berbasis jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap pemilu terakhir? Harus diakui putusan MK tersebut sedikit memengaruhi peta pencalonan kepala daerah. Daerah-daerah seperti Provinsi Banten atau Kota Tangerang Selatan yang tadinya potensi calon tunggal berubah. Hanya saja pengaruh putusan MK itu belum begitu meluas terjadi dibanyak daerah.
Setidaknya terdapat dua hal sehingga putusan MK itu belum begitu efektif. Pertama, pendeknya jangka waktu antara keluarnya putusan MK dengan masa dimulainya pendaftaran, sementara koalisi antar parpol sudah terbangun lama dan erat. Kedua, menguatnya semangat pengabaian dan perlawanan putusan MK oleh parpol, terutama parpol pemilik kursi di DPR RI. Ini terkonfirmasi dari upaya revisi kilat RUU Pilkada yang berujung gagal karena mendapat perlawanan dari masyarakat.
Pengabaian dan perlawanan yang diperlihatkan parpol tersebut merupakan anomali, sebab putusan MK tersebut sesungguhnya menguntungkan parpol karena dengan itu bisa mengajukan pasangan calon tanpa tersandera oleh syarat pencalonan yang berat. Karena itu , tidak ada alasan lain yang bisa menjelaskan sikap anomali parpol tersebut kecuali parpol telah terperangkap dalam praktik politik kartel. Elite-elite parpol menggadaikan kemandirian dan kedaulatan partainya dengan sikap pragmatisme.
Calon tunggal memang menjanjikan kemenangan yang paripurna. Gabungan parpol pengusung dan calon tidak perlu mengeluarkan uang yang terlalu banyak. Sementara keuntungan politik dan ekonomi sudah bisa dipastikan berada dalam genggaman. Itu sebabnya, di tengah akutnya serangan pragmatisme melanda elite-elite parpol, calon tunggal menjadi pilihan yang paling menjanjikan keuntungan.
Ke depan, tentu saja ini tidak bisa dibiarkan dan dianggap wajar. Meski kehadirannya sah dan konstitusional, tetapi itu bukan cara terbaik menghargai kedaulatan rakyat dan membangun demokrasi yang sehat. Karena itu agar calon tunggal jangan sampai menjadi pilihan favorit partai, harus ada pembenahan. Pertama, UU Pilkada harus memuat aturan yang memuat adanya ambang maksimal persentase jumlah suara partai atau gabungan partai. Putusan MK 60 hanya mengatur ambang batas minimal persentase perolehan suara partai atau gabungan partai. dengan adanya pengaturan ambang batas maksimal tersebut, membatasi menumpuknya banyak partai dalam satu koalisi pencalonan.
Kedua, sebagai kelanjutan dari yang pertama, perlu juga diatur sanksi bagi partai atau gabungan partai yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tetapi tidak mengajukannya. Ketentuan ini sebagaimana halnya dalam pengajuan pasangan calon dalam pemilihan presiden. Ketiga, Penataan ulang soal keuangan politik sehingga biaya politik yang harus ditanggung oleh calon atau partai/gabungan partai lebih rasional dan bisa dipertanggungjawabkan.
Jakarta, 01 September 2024
Kholil Pasaribu
Ketua CONSID