
Mashudi SR
Peneliti Senior CONSID
“Jika tidak disikapi secara serius, bukan tidak mungkin parlok di Aceh akan hilang ditelan badai politik.”
Setelah pemilu 1955 tidak ada lagi partai politik peserta pemilu yang berskala lokal. Semua peserta pemilu legislatif adalah partai politik nasional dan sentralistik. Kanal aspirasi politik masyarakat dipersempit sekaligus dikontrol. Di bawah kekuasaan rezim pemerintahan Orde Baru, atas nama stabilitas nasional, ruang politik yang dianggap sumber kegaduhan bangsa pada masa Orde Lama, ditata ulang dan dibatasi.
Baru pada pemilu 2009, satu dekade setelah pemilu pertama dimasa reformasi, partai politik lokal (parlok) hadir kembali ke dalam bilik suara. Menariknya, peristiwa demokrasi yang bersejarah ini hanya ada di Aceh, provinsi yang cukup lama dirundung konflik bersenjata. Meski keikutsertaannya dibatasi hanya untuk perebutan kursi parlemen ditingkat daerah.
Sejarah mencatat, kehadiran parlok di Aceh adalah salah satu buah dari perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada pertengahan 2005. Instrumen demokrasi berskala lokal ini menjadi semacam kendaraan bagi mereka yang tergabung dalam kelompok GAM secara khusus, dan bagi rakyat Aceh secara umum untuk membawa daerah ini mencapai keadilan dan kesejahteraan.
Beberapa daerah lain di tanah air yang dilanda konflik bersenjata, menginginkan hal serupa. Hanya saja keinginan itu tidak mendapat respons karena dianggap bukan itu opsi yang tepat mengakhiri konflik yang terjadi. Papua misalnya, hak politik yang diberikan berupa kekhususan pengisian jabatan kepala daerah yang hanya bisa diisi orang Papua asli.
Pemilu legislatif 2024 ini, merupakan pemilu keempat bagi parlok menjadi kontestan. Sebanyak enam parpol telah dinyatakan lulus verifikasi dan ditetapkan sebagai peserta oleh penyelenggara pemilu. Parlok tersebut yaitu Partai Aceh (PA), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai Generasi Atjeh Beusaboh Thaat dan Taqwa (Gabthat), Partai Adil Sejahtera (PAS), Partai Darul Aceh (PDA), dan Partai Solidaritas Independen Rakyat Aceh (SIRA). Secara keseluruhan terdapat 24 partai politik peserta pemilu yang akan memperebutkan 81 kursi parlemen provinsi.
Dari pemilu 2009 sampai pemilu saat ini, jumlah parlok yang menjadi peserta mengalami pasang surut. Pemilu pertama 2009 penyelenggara pemilu menetapkan parlok enam menjadi peserta adalah Partai Aceh (PA), Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Rakyat Aceh (PRA), dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Jumlah ini kemudian melorot menjadi tiga partai pada pemilu 2014 yaitu Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA), dan Partai Damai Aceh (PDA). Pada pemilu 2019 jumlah parlok yang menjadi peserta bertambah menjadi empat yaitu Partai Aceh (PA), Partai Nanggroe Aceh (PNA), Partai Daulat Aceh (PDA), dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).
Turun naiknya jumlah parlok dalam setiap pemilu adalah gambaran dinamika demokrasi lokal yang terjadi. Ada partai yang tetap bertahan menjadi peserta setiap pemilu, ada juga yang hanya sekali muncul dalam surat suara, tetapi ada pula parlok pendatang baru. Seturut dengan itu jumlah perolehan suara dan kursi di parlemen masing-masing parlok juga naik turun. Partai Aceh sebagai parlok terbesar yang pada pemilu 2009 menguasai 33 kursi dari 69 kursi yang diperebutkan. Jumlah ini melorot tajam pada pemilu 2014 menjadi 29 kursi dari alokasi 81 kursi yang ada. Begitu pun pada pemilu 2019 lalu, PA hanya berhasil mendudukkan 18 kadernya di kursi parlemen dari 81 jumlah kursi yang tersedia.
Alarm Politik
Meski masih tetap sebagai peraih kursi mayoritas dari tiga kali pemilu, tetapi penurunan ini menjadi semacam alarm, bukan hanya bagi PA tetapi juga bagi parlok lain yang ada. Bahwa jika tidak disikapi secara serius, bukan tidak mungkin parlok di Aceh akan hilang ditelan badai politik. Sampai pada akhirnya Aceh dikenang pernah memiliki istrumen demokrasi lokal yang banyak diinginkan daerah lain di tanah air, tetapi tinggal menjadi jejak sejarah saja. Padahal untuk sampai pada titik dimana Aceh bisa mendirikan partai lokal, didahului dengan beragam peristiwa kemanusiaan yang tragis nan panjang.
Karena itu, mengingat betapa perih dan mahalnya harga yang harus dibayar untuk kelahiran entitas demokrasi bernama parlok, sepatutnya menjadi kewajiban moral dan sejarah semua anak Nanggroe mempertahankan kelangsungannya. Salah satunya dengan cara menjadikan parlok sebagai satu dari sekian banyak peserta pemilu legislatif pilihan. Parlok inilah salah satu modal politik strategis yang dimiliki Aceh saat ini.
Saat ini tugas parlok adalah memberikan keyakinan pada pemilih bahwa suara mereka akan bermakna lebih jika disalurkan melalui partai lokal. Tentu saja ini bukan tugas ringan, karena masyarakat memiliki catatan sendiri terhadap rekam jejak setiap partai politik yang ada. Daya ingat mereka tidak bisa dihapus dengan memberikan paket sembako, uang, dan janji politik yang tidak membumi. Masyarakat semakin kritis, bisa membedakan antara komitmen dengan bualan politik.
Inilah realitas masyarakat pemilih yang harus dihadapi. Meski di sebagian daerah transaksi jual beli suara masih terjadi, idealnya cara ini harus dikikis secara perlahan. Bukan dipertahankan demi meraih jabatan. Karena ada sisi lain dari pemilu yang perlu dilakoni yaitu pendidikan politik yang bermoral. Last but not least, berkaca pada alarm politik berupa tren penurunan perolehan suara dan kursi parlok, sudah sepatutnya pemilu 2024 ini dijadikan titik balik untuk meneguhkan kembali partai politik lokal di Aceh. Pengalaman tiga kali pemilu rasanya cukup menjadi referensi yang sangat berharga bagaimana meraih dan mengelola sebagian kedaulatan yang dititipkan rakyat. Warna demokrasi Indonesia semakin menarik jika demokrasi lokal Aceh tetap menyala. Karenanya di pemilu 2024 ini partai lokal jangan sampai gagal.
Note: Tulisan ini telah pernah dimuat di Koran Serambi Indonesia